Daging ayam ras dalam waktu relatif singkat menjadi komoditas bisnis peternakan yang strategis dan menggantikan peran ternak lainnya dalam penyediaan daging. Produksi daging sapi pada tahun 1984 sebesar 216,4 ribu ton, sedangkan produksi daging ayam ras baru 78,5 ribu ton tetapi sejak tahun 1990, produksi daging sapi hanya meningkat menjadi 259,2 ribu ton sementara daging ayam mulai melampaui daging sapi dengan produksi sebesar 261,4 ribu ton. Perubahan peran dalam kontribusi daging nasional dari dominannya daging sapi ke daging ayam ras terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada tahun 1996, dimana produksi daging sapi sebesar 347,2 ribu ton sementara produksi daging ayam ras mencapai 605,0 ribu ton. Pada tahun 1996 tersebut terjadi puncak populasi ayam ras pedaging sebanyak 755,96 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2001).
Konsumsi daging ayam ras terus meningkat seiring dengan perubahan ekonomi nasional. Pada tahun 1990 konsumsi daging ayam ras baru mencapai 1,93 kg/kapita/tahun dan tahun 1996 meningkat mencapai 2,61 kg/kapita/tahun. Konsumsi daging ayam ras sempat menurun saat terjadi krisis tetapi kemudian kembali meningkat saat pemulihan ekonomi berlangsung dan pada tahun 2001 diprediksi konsumsi rata-rata 4,48 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi daging ayam ras diperkirakan terus meningkat apabila terjadi pertumbuhan ekonomi karena korelasi antara konsumsi dengan pendapatan masyarakat cukup tinggi. Titik jenuh konsumsi daging ayam ras masih jauh dibandingkan dengan kondisi saat ini. Sebagai perbandingan, konsumsi daging ayam ras di negara maju dapat mencapai 75 kg/kapita/tahun, yang 16 kali lipat lebih dari rata-rata konsumsi nasional saat ini (PINSAR Unggas Nasional, 2000).
Tingginya permintaan ayam ras dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut:
- memiliki karakteristik yang disukai masyarakat luas termasuk penduduk pedesaan;
- elastisitas permintaan terhadap pendapatan relatif lebih tinggi sebesar 1,11 dan relatif paling tinggi dibandingkan produk ternak lainnya;
- dibandingkan dengan daging lainnya, daging ayam ras dipercaya sebagai produk dengan kadar kolesterol rendah;
- harga relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging lainnya, biasanya sekitar sepertiga dari harga daging sapi; dan
perkembangan usaha di tingkat off farm (proses hilir) yang sangat efektif dalam mendukung sistem distribusinya seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, California Fried Chicken, dan Texas Fried Chicken.
Perkembangan populasi dan produksi ayam ras pedaging sangat pesat karena faktor-faktor antara lain :- secara biologis memiliki masa pemeliharaan yang singkat, dapat dipanen umur 5-6 minggu;
- dukungan yang kuat dalam ketersediaan bibit oleh industri modern khususnya dari negara tetangga;
- teknologi mudah diadopsi dan minat masyarakat dalam budidaya sangat tinggi;
dukungan pemerintah dengan harapan menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat melalui pola kemitraan PIR. Perkembangan ayam ras tersebut terkait dengan jumlah penduduk dan aksesibilitas, sehingga sentra pengembangan saat ini berada di Jawa Barat dengan populasi 180,83 juta ekor, Jawa Timur dengan 92,48 juta ekor, Jawa Tengah 71,86 juta ekor, Sumatera Utara 27,57 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2001).
Namun demikian selama perkembangannya sejak awal orde baru, gejolak pasang surut industri ayam ras pedaging sering terjadi. Gejolak industri ayam ras disebabkan oleh adanya benturan kepentingan berbagai pihak dan krisis moneter. Benturan antar pihak terjadi karena di satu sisi ada keinginan mengarahkan usaha ayam ras sebagai industri besar-besaran, sehingga efisiensi dapat tercapai sesuai dengan karakteristik komoditas yang memerlukan skala besar tetapi di sisi lain diharapkan usaha ayam ras pedaging diprioritaskan untuk skala kecil yang dikelola mayarakat kecil. Melalui Keppres No. 50 Tahun 1980, pemerintah berpihak pada peternak kecil dengan pembatasan produksi maksimal 650 ekor per periode. Upaya ini tidak efektif, karena dengan mudah dapat disiasati oleh perusahaan besar dengan cara membagi skala usaha atas nama pihak lain tetapi pada hakekatnya tidak beralih kepemilikannya.Berbagai kebijakan regulasi sebagai jalan tengahnya diterapkan oleh pemerintah kemudian yang pada intinya memberikan kesempatan lebih besar kepada pihak investor untuk menanamkan modalnya di industri ayam ras pedaging tanpa mengurangi misi pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu sebagian besar industri ayam ras pedaging saat ini didesain sebagai bentuk usaha kemitraan, dimana investor sebagai inti bergerak di off farm hulu (bibit dan pakan) dan off farm atau proses hilir (pemotongan, pengolahan, dan pemasaran) serta menyediakan sarana produksi, sedangkan peternak rakyat mengelola kegiatan budidaya dengan sarana produksi yang dipasok oleh inti.
Gejolak bisnis ayam ras pedaging juga disebabkan adanya krisis moneter yang secara langsung memukul industri ayam ras dalam negeri karena komponen bibit dan pakan diperoleh dari impor. Pada masa ini peran ayam ras sebagai penghasil daging mengalami penurunan secara drastis dan peran daging sapi kembali dominan. Industri ayam ras nampaknya kembali memasuki momen yang kondusif bagi kebangkitannya setelah proses pemulihan ekonomi mulai terlihat. Pada tahun 1998 populasi ayam ras pedaging sebesar 354 juta ekor dan pada tahun 1999 meningkat menjadi 418,94 juta ekor. Pada tahun 2000 meningkat menjadi sebesar 530,87 juta. Pada tahun 2002 diperkirakan populasi mencapai 567,15 juta ekor dengan produksi daging 554 ribu ton sementara daging sapi hanya 338,79 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2001). Peluang ekspor juga ada kemungkinan membaik. Peluang ekspor kemungkinan akan semakin membaik menyusul krisis yang terjadi di beberapa negara khususnya Jepang dan CIS (Rusia). Peluang ekspor juga terbuka untuk ke negara Australia, New Zelland, negara-negara Eropa Timur, Jepang, Arab Saudi, Brunai Darrusalam. Ekspor ayam pedaging telah dilakukan sebelumnya, yang pada tahun 1995 mencapai 997,6 ton senilai 3.367,60 ribu US$ dan tahun 1999 sebagai puncaknya mencapai 2.859,3 ton senilai 3.912,11 US Dollar (Infovet, Nov 2001). Khusus ke negara Islam, peluang ekspor lebih terbuka karena dapat memanfaatkan label halal dan persyaratan higienis. Namun kebangkitan industri ayam ras saat ini belum banyak menyentuh peternak plasma. Peternak plasma umumnya bertahan dengan sistem kemitraan melalui kerjasama sewa kandang dan pengelolaan.
Peternak mandiri saat ini masih menghadapi kendala klasik berupa terbatasnya modal dalam memanfaatkan momen pemulihan ekonomi saat ini. Oleh karena itu kajian sejauhmana kelayakan pemberian kredit bagi pengembangan usaha ayam ras pedaging khususnya yang dikelola oleh peternak skala kecil sangat diperlukan diantaranya sebagai informasi penting pihak perbankan dalam perencanaan kucuran pinjaman bagi peternak ayam ras pedaging.
pencari berita: Leo suseno, C.SPt