Dan petaka itu kini kian nyata. Krisis air  yang dalam dua dasawarsa terakhir telah ramai dibincangkan banyak pihak  mulai menampakkan kedahsyatan efeknya, termasuk di sektor perikanan.  Di  saat tuntutan produksi budidaya ikan kian meningkat seiring  bertambahnya populasi manusia dan akibat kian menipisnya stok ikan di  laut, pasokan air—lahan budidaya ikan—justruterus berkurang. Kondisi itu  pun makin parah kala kemarau panjang tak kunjung usai.
Lihat saja kolam-kolam lele di sekitar Pantura (Pantai Utara Jawa)yang  mengering terutama saat musim kemarau tiba. pembudidaya lele asal  Kecamatan Kandanghaur, Indramayu,Warnotomengemukakan,  produksi lele di  daerahnya turun akibat ketersediaan air yang tidak mencukupiuntuk  budidaya lele. “Hampir 50% kolam  (ukuran per kolam 300 – 400 m2)  tidak ada air, khususnya Kecamatan Kandanghaur dan Losarang,” ujar pria  yang mempunyai 800 kolam (pribadi 150 kolam dan kemitraan 650  kolam)ini.
Alhasil, produksi lele pun tidak bisa maksimal. Dari biasanya yang  rata-rata per hari bisa 13 – 15 ton, sekarang hanya pada kisaran 8 – 10   ton saja. Celakanya akibat kekurangan air ini, Warnoto  harus rela  merogoh kantongnya lebih dalam untuk membeli air dariDinas Pengairan dan  Irigasi setempat. Jika dikalkulasi, pembelian air dari awal kemarau  (Juni) sampai akhir Oktober mencapai Rp 30 juta. “Itu hanya di salah  satu blok (per blok terdiri atas 150 – 200 kolam) dari 4 blok  budidaya  lele yang saya miliki. Yaitu blok Karangsinom, Anjun, Gangbongas,dan  Sumbermas,” katanyapahit.
Menurut pria yang akrab disapa Totoini, dirinya masih butuh air sampai  akhir November atau sampai hujan mulai turun. Itu berarti akan makin  berat baginya untuk meraih untung lebih, karena biaya  operasionalmembengkak.
Tak jauh beda dengan Toto, Charman—pembudidayalele asal Losarang,  Indramayu—menyebutkansudah hampir 10 tahun ini jika musim kemarau tiba,  pembudidaya lele terkendala oleh ketersediaan air.”Kalau kemarau,lahan  dan kolam banyak yang kering, sehingga kita bingung menyelamatkan ikan.  Sampai-sampai harus beli air dari Dinas Pengairan dan Irigasi,”  tuturpria yang memiliki 100 kolam (pribadi 15 kolam dan kemitraan 85  kolam)ini.
Charman atau akrab dipanggil Maman ini menceritakan, untuk tahun ini  sebenarnya kekurangan air pada kolamnya sudah terjadi sejak April. Hanya  pada April dan Mei tertolong oleh air dari aliran program irigasi sawah  yang terletak di belakang kolamnya. Namun saatprogram tersebut usai,  kolam lelenya pun kembali kekurangan air.
Dengan kondisi kolam yang airnya tidak dalam membuat lumpur banyak  timbul ke permukaan, sehingga mempengaruhi selera makan lele dan  cenderung membuat nafsu makan berkurang.“Sekarang hampir 50% kolam tidak  berproduksi, sehingga terjadi penurunan produksi yang biasanya 15 ton  per minggu, sekarang hanya 10 ton per minggu,” jelasnya.
Penurunan produksi lele ini dibenarkan Machyudin,praktisi perikanan di  wilayah Pantura. Ia menyebutkan perkembanganproduksilele cukup stabil,  namun memasuki Agustus ini terjadi penurunan produksiakibatkemarau di  beberapa wilayah.“Sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun selama musim  kemarau. Hanya di tahun sebelumnya, musim kemarau tidak separah sekarang  karena masih ada curah hujan atau istilahnya musim kemarau basah,”  cetuspria lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian  Bogor ini.
Sumur Bor
Demi mengatasi kekurangan air ini, Maman membuat sumur bor sedalam 70  meter. Hal yang sama juga dilakukan Toto. Dia membuat sumur bor dengan  biaya per lubang Rp 20 juta pada blok yang memang air sangat sulit  dibandingkan blok lainnya, selainmasih tetap membeli air dan membuat  tampungan air yang baru. “Blok terparah Karangsinom yang hampir 70%  kolam pribadi terletak disana,” sebutnya pelan.
Dan yang membuat Toto gusar, meski kondisi seperti ini terjadi pada  setiap musim kemarau, namun nyaristidak ada tindakan antisipasi dari  pemerintah.”Seharusnya pemerintah setempat dan pusat bisa  membantumeminimalisir kondisi ini, sebab di kecamatan tetangga  yaitu  Kecamatan Patrol terjadi kelebihan air, sampai air dibuang ke laut. Ini  sebaliknya, seolah-olahmerekatidak peduli danpembudidaya hanya dijadikan  obyek untuk mendapatkan keuntungan di bidang pengairan ini,”  katanyamenumpahkan kekesalan.
Machyudin berharap semoga permasalahan air di wilayah Indramayu dan  Cirebon bisa teratasi dengan dibangunnya Waduk Jati Gede di Sumedang.  Juga adanyakerjasama antar dinas terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas  Perikanan, serta Dinas Pengairan dan Irigasi dalam pengaturan air untuk  persawahan dan perikanan. “Sehingga praktik jual beli air irigasi  setiap musim kemarau tidak terjadi lagi,” tegasnya.
Sementara itu untuk mencegah penurunan produksi lebih jauh, Maman  menyebutkan salah satu caranya dengan antisipasi terhadap penyakit dan  betul-betul memperhatikan kualitas air. Kualitas air yang dimaksud  adalah dengan penambahan air dari sumur bor serta ditukar air dari  pembenihan untuk pembesaran. ”Jika airnya masih bagus, dari pembenihan  diberikan kepada  pembesaran.  Tujuannya agar pembesaran mendapatkan air  dari pembenihan yang belum banyak kotoran. Atau dengan tetes tebu untuk  menstabilkan air,” terangnya.
Technical Service and SalesPT Suri Tani Pemuka (STP), Tejo  menyarankan, untuk mengatasi hal ini denganpemberian pakan yang tepat  sesuai kebutuhan lele, jangan sampai over feeding (kelebihan  pakan)hanya demi menggenjot pertumbuhan supaya cepat diserap pasar.  Untuk itu pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi berbeda. Misalnya  satu sak habis satu hari diberikan pada waktu pagi dan sore, sekarang  bisa menambahkan pemberian pada siang hari dengan tidak mengurangi   volume pakan setiap sak per harinya.
Daerah Lain Meningkat
Menanggapi kekurangan air ini, Direktur Produksi Perikanan Budidaya  Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP), Iskandar Ismanadjimengakui  jika di Pantura dalam beberapa bulan terakhir mengalami stagnan  produksimeski tahun-tahun sebelumnyameningkat cukup pesat (banyak  lahan/tanah kosong berubah menjadi kolam tanah atau terpal).
Sumber : TROBOS.COM

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar