Kamis, 29 Desember 2011

Budidaya Lele Saat KrisisAir

Dan petaka itu kini kian nyata. Krisis air yang dalam dua dasawarsa terakhir telah ramai dibincangkan banyak pihak mulai menampakkan kedahsyatan efeknya, termasuk di sektor perikanan.  Di saat tuntutan produksi budidaya ikan kian meningkat seiring bertambahnya populasi manusia dan akibat kian menipisnya stok ikan di laut, pasokan air—lahan budidaya ikan—justruterus berkurang. Kondisi itu pun makin parah kala kemarau panjang tak kunjung usai.
Lihat saja kolam-kolam lele di sekitar Pantura (Pantai Utara Jawa)yang mengering terutama saat musim kemarau tiba. pembudidaya lele asal Kecamatan Kandanghaur, Indramayu,Warnotomengemukakan,  produksi lele di daerahnya turun akibat ketersediaan air yang tidak mencukupiuntuk budidaya lele. “Hampir 50% kolam  (ukuran per kolam 300 – 400 m2) tidak ada air, khususnya Kecamatan Kandanghaur dan Losarang,” ujar pria yang mempunyai 800 kolam (pribadi 150 kolam dan kemitraan 650 kolam)ini.
Alhasil, produksi lele pun tidak bisa maksimal. Dari biasanya yang rata-rata per hari bisa 13 – 15 ton, sekarang hanya pada kisaran 8 – 10  ton saja. Celakanya akibat kekurangan air ini, Warnoto  harus rela merogoh kantongnya lebih dalam untuk membeli air dariDinas Pengairan dan Irigasi setempat. Jika dikalkulasi, pembelian air dari awal kemarau (Juni) sampai akhir Oktober mencapai Rp 30 juta. “Itu hanya di salah satu blok (per blok terdiri atas 150 – 200 kolam) dari 4 blok  budidaya lele yang saya miliki. Yaitu blok Karangsinom, Anjun, Gangbongas,dan Sumbermas,” katanyapahit.
Menurut pria yang akrab disapa Totoini, dirinya masih butuh air sampai akhir November atau sampai hujan mulai turun. Itu berarti akan makin berat baginya untuk meraih untung lebih, karena biaya operasionalmembengkak.
Tak jauh beda dengan Toto, Charman—pembudidayalele asal Losarang, Indramayu—menyebutkansudah hampir 10 tahun ini jika musim kemarau tiba, pembudidaya lele terkendala oleh ketersediaan air.”Kalau kemarau,lahan dan kolam banyak yang kering, sehingga kita bingung menyelamatkan ikan. Sampai-sampai harus beli air dari Dinas Pengairan dan Irigasi,” tuturpria yang memiliki 100 kolam (pribadi 15 kolam dan kemitraan 85 kolam)ini.
Charman atau akrab dipanggil Maman ini menceritakan, untuk tahun ini sebenarnya kekurangan air pada kolamnya sudah terjadi sejak April. Hanya pada April dan Mei tertolong oleh air dari aliran program irigasi sawah yang terletak di belakang kolamnya. Namun saatprogram tersebut usai, kolam lelenya pun kembali kekurangan air.
Dengan kondisi kolam yang airnya tidak dalam membuat lumpur banyak timbul ke permukaan, sehingga mempengaruhi selera makan lele dan cenderung membuat nafsu makan berkurang.“Sekarang hampir 50% kolam tidak berproduksi, sehingga terjadi penurunan produksi yang biasanya 15 ton per minggu, sekarang hanya 10 ton per minggu,” jelasnya.
Penurunan produksi lele ini dibenarkan Machyudin,praktisi perikanan di wilayah Pantura. Ia menyebutkan perkembanganproduksilele cukup stabil, namun memasuki Agustus ini terjadi penurunan produksiakibatkemarau di beberapa wilayah.“Sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun selama musim kemarau. Hanya di tahun sebelumnya, musim kemarau tidak separah sekarang karena masih ada curah hujan atau istilahnya musim kemarau basah,” cetuspria lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor ini.

Sumur Bor
Demi mengatasi kekurangan air ini, Maman membuat sumur bor sedalam 70 meter. Hal yang sama juga dilakukan Toto. Dia membuat sumur bor dengan biaya per lubang Rp 20 juta pada blok yang memang air sangat sulit dibandingkan blok lainnya, selainmasih tetap membeli air dan membuat tampungan air yang baru. “Blok terparah Karangsinom yang hampir 70% kolam pribadi terletak disana,” sebutnya pelan.
Dan yang membuat Toto gusar, meski kondisi seperti ini terjadi pada setiap musim kemarau, namun nyaristidak ada tindakan antisipasi dari pemerintah.”Seharusnya pemerintah setempat dan pusat bisa membantumeminimalisir kondisi ini, sebab di kecamatan tetangga  yaitu Kecamatan Patrol terjadi kelebihan air, sampai air dibuang ke laut. Ini sebaliknya, seolah-olahmerekatidak peduli danpembudidaya hanya dijadikan obyek untuk mendapatkan keuntungan di bidang pengairan ini,” katanyamenumpahkan kekesalan.
Machyudin berharap semoga permasalahan air di wilayah Indramayu dan Cirebon bisa teratasi dengan dibangunnya Waduk Jati Gede di Sumedang. Juga adanyakerjasama antar dinas terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, serta Dinas Pengairan dan Irigasi dalam pengaturan air untuk persawahan dan perikanan. “Sehingga praktik jual beli air irigasi setiap musim kemarau tidak terjadi lagi,” tegasnya.
Sementara itu untuk mencegah penurunan produksi lebih jauh, Maman menyebutkan salah satu caranya dengan antisipasi terhadap penyakit dan betul-betul memperhatikan kualitas air. Kualitas air yang dimaksud adalah dengan penambahan air dari sumur bor serta ditukar air dari pembenihan untuk pembesaran. ”Jika airnya masih bagus, dari pembenihan diberikan kepada  pembesaran.  Tujuannya agar pembesaran mendapatkan air dari pembenihan yang belum banyak kotoran. Atau dengan tetes tebu untuk menstabilkan air,” terangnya.
Technical Service and SalesPT Suri Tani Pemuka (STP), Tejo menyarankan, untuk mengatasi hal ini denganpemberian pakan yang tepat sesuai kebutuhan lele, jangan sampai over feeding (kelebihan pakan)hanya demi menggenjot pertumbuhan supaya cepat diserap pasar. Untuk itu pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi berbeda. Misalnya satu sak habis satu hari diberikan pada waktu pagi dan sore, sekarang bisa menambahkan pemberian pada siang hari dengan tidak mengurangi  volume pakan setiap sak per harinya.
Daerah Lain Meningkat
Menanggapi kekurangan air ini, Direktur Produksi Perikanan Budidaya Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP), Iskandar Ismanadjimengakui jika di Pantura dalam beberapa bulan terakhir mengalami stagnan produksimeski tahun-tahun sebelumnyameningkat cukup pesat (banyak lahan/tanah kosong berubah menjadi kolam tanah atau terpal).

Sumber : TROBOS.COM